Jumat, Oktober 17

i hate you more !!!

I HATE YOU MORE !!!
by fauzan fadli

Pernah merasa benci banget sama sesuatu? Atau seseorang? Ga jelas benci yang kayanya ga beralasan tapi rasanya benci setengah mati, dan juga rasa. Benci dengan sesuatu atau seseorang sebenci kalian untuk menjadi miskin, sebenci untuk menjadi buruk rupa, atau sebenci untuk menjadi tersisih. Pokoknya benci banget !!! More than everything !

Rasa benci adalah salah satu emosi terwajar yang dimiliki oleh manusia, kalau kalian masih merasa sebagai manusia. Semua yang terlihat (dan terlahir) dari sesuatu atau seseorang yang kita benci ketika tertangkap oleh retina mata dan diterjemahkan oleh otak rasanya seperti menggerus cabe dengan lidah , rasanya kaya terbanting-banting, pokoknya rasa yang sangat tidak menyenangkan. Apalagi kalau kebencian itu kita harus redam dan membungkusnya dengan senyuman sinis yang lebih pahit dari daun pepaya.

kalo ngomong tentang kebencian emang banyak banget aspek yang harus di bahas . mulai dari aspek sosio-biologis ampe seluk-beluk kondisional lingkungan sekitar . nah sekarang kayanya nih ya (bukan berdasarkan hasil riset ahli) orang akan lebih merasakan kesumatnya dendam dan kebencian pada/untuk seseorang juga , alias dari manusia untuk manusia . kalo kebencian antara manusia dan sesuatu/benda sepertinya lebih cenderung ke konteks yang detail dan explainable.

Karakter seseorang untuk membenci orang lain memang pada dasarnya akan berbeda-beda. Tapi ada satu silver line yang bisa ditarik, seseorang akan membenci (dengan sangat) orang yang dibencinya setelah terjadi perkenalan dan peleburan dua karakter. Kebencian akan lahir karena memang dipupuk dan dibesarkan untuk membenci alias kesengajaan secara psikologis. Ketika kebencian lahir, rasanya memang akan seperti tidak ada lagi yang dapat menyublimnya menjadi keharmonisan, karena dalam hati yang membenci itu sudah pasti akan ada banyak alasan fana yang berkobar-kobar. Sekarang masalahnya adalah ketika kebencian yang lahir secara batiniyah (psikologis) disandingkan dengan situasi lingkungan yang tentunya tidak diciptakan untuk (saling) membenci. Di sinilah tempat yang paling cocok untuk tumbuh-suburnya kebencian. Kebencian yang tertopengi dengan senyum, kebencian yang tertindas oleh hubungan darah atau pertemanan, bahkan kebencian yang terkontaminasi masalah materi. Jenis-jenis benci yang seperti inilah yang (lagi-lagi bukan menurut penelitian para ahli) akan sulit dilupakan. Dilupakan, bukan di sembuhkan; karena rasa benci itu pada awalnya akan terlupakan (dengan ketidaksengajaan) lalu untuk menuju ke tahap 'sembuh' akan butuh banyak bantuan dari banyak tangan.

Inilah stereotipe dari adat kebiasaan bersosialisasi ala Indonesia. Dengan ramah tamah dan senyum sumringah. Bukan dengan keterbukaan satu sama lain. Akan sangat canggung rasanya jika ada perdebatan atau adu argument di tengah perjamuan makan atau pertemuan. Padahal bisa saja acara-acara seperti itu dijadikan sebagai mediasi untuk mengungkapkan apa yang harus diungkapkan. Ditambah lagi dengan kebiasaan dari masing-masing pribadi orang Indonesia yang lebih memilih untuk tetap manis di depan umum daripada bersikap apa adanya. Bukankah kondisi lingkungan yang seperti ini malah menjadi pupuk dari benih-benih benci ? Belum lagi masalah kebencian yang terjadi di tengah keluarga. Selain masalah stereotipe orang Indonesia, ada hal lain yang pastinya menjadi pertimbangan penting (dan ini merupakan naluri; sepertinya) adalah keberadaan orang tua di dalam konflik antar saudara. Bukannya ingin menyisihkan peran orang tua dalam keluarga, namun rasanya orang tua akan lebih memilih terapi ceramah dibandingkan dengan duduk bersama dalam sebuah diskusi adil dan terbuka. Dari situlah juga konflik yang bermuara pada kebencian antar saudara akan terkontaminasi. Karena terapi ceramah yang diberikan sebenarnya tidak akan menncairkan rasa benci yang ada, namun akan lebih cenderung untuk menyalahkan situasi atau bahkan salah satu dari pihak yang saling membenci.

Sekarang dari aspek sosio-biologis tentang benci pada diri seseorang. Seperti tadi sudah ditulis di atas, kalau kebencian itu memang wajar adanya. Namun benci pada awalnya bukanlah muncul sebagai perasaan benci begitu saja, benci adalah sebuah proses kebohongan atau ketidakjujuran baik pada diri sendiri maupun pada orang yang (nantinya) akan kita benci karena ketidakjujuran itu. Kebohongan yang berhulu pada ketidakcocokan satu sama lain yang tak terungkapkan, pada kesalahan yang setengah termaafkan, pada komentar yang tak tersampaikan, dan bahkan pada kebahagiaan yang tidak terbiaskan. sekali lagi disini juga letak kelemahan stereotipe orang Indonesia, they prefer to leave it all behind without any effort to convey what are they want to express. Kebiasaan ini juga terefleksi pada forum-forum resmi seperti diskusi atau kegiatan belajar-mengajar di kelas, di mana orang Indonesia akan jauh lebih sulit mengungkapkan pendapat dari pada orang-orang Eropa. Jadi selaiknya ketika rasa-rasa kebohongan atau ketidakjujuran pada diri sendiri telah terasa efeknya (menuju rasa benci) , cepat-cepatlah jujur ! Bukan malah melarikan diri dengan mengenyakkan diri pada hal-hal yang disukai alias enjoying own-self .

intinya adalah keterbukaan pada diri sendiri dan pada orang sekitar. Hal ini akan sangat membantu meminimalisasi rasa benci. Kalau bukan dari sekarang , kapan lagi? Apalagi dibarengi dengan momen suci seindah Idul Fitri, di mana meminta maaf dan memaafkan akan terasa lebih menyenangkan .




vuzanredcliffe99.multiply.com
profiles.friendster.com/fauzanproperty

Tidak ada komentar: