Jumat, Juli 31

Pandi[r]; a monologue of the Mindtalker

Pandi[r]; a monologue of the Mindtalker

oleh: fauzanFADLI

Haha, lucu sekali ketika melihat mereka semua tertawa riang. Begitu lepas menertawakan kecerobohanku, jatuh tersandung karena tali sepatuku sendiri. Entah kenapa sebelumnya aku tidak pernah merasa semarah ini kepada mereka semua. Kepada mereka yang selalu saja mengejek dan menertawakanku semau mereka. Kali ini terasa berbeda.

Sejak merasakan indahnya dunia, aku tinggal di kota ini. Cuma kota Jakarta. Memang pada dasarnya tidak ada keinginan untuk jauh dari kota ini. Dan sejak sembilan belas tahun lalu pula mama dan papaku memanggilku Pandi.

Dengan tidak sedikitpun niat untuk kufur ni’mat atas apa yang telah aku miliki, tapi aku selalu merasa nama ini agak sedikit mengganggu hidupku. Terdengar aneh dan sorry to say agak sial. Tapi biarlah, nikmati saja. Huu.

Pernah suatu hari, saat kelas tiga sekolah dasar dulu, aku menemukan sebuah kata yang sangat dan terasa begitu dalam mengusik hati dan pikiranku, pandir. Ya, kata pander, yang menurut guru bahasa Indonesiaku dulu dan tentu saja beliau telah mengeceknya terlebih dahulu di kamus besar bahasa Indonesia terbitan balai pustaka tahun 1977 itu, pandir sama dengan S-T-U-P-I-D.

Sejak saat itulah, aku merasa begitu sial dalam hidup. Huh! Pokoknya apapun yang kulakukan selalu saja menjadi hal aneh dan bahan celaan oleh orang-orang sekitarku. Bahkan pernah ada seorng teman yang aku masih ingat betul nama dan bentuk mukanya sampai helai-helai rambut yang menutupi dahinya itu, ia datang dan membelaku. Tapi, ia melakukannya dengan tawa licik dan menjijikkan. Aku sungguh sudah tahu apa yang akan dilakukannya terhadap diriku ini, si Pandi ini. Ia akan mengejekku sedetik kemudian setelah ia membelaku dengan palsu. Cuih. Benar saja. Ingin rasanya kumakan kedua bola matanya saat itu juga!

Sebenarnya juga, aku bukanlah tipe orang yang bodoh-bodoh amat. Malahan bisa dikategorikan dan klasifikasikan serta terdefinisi dengan empiris bahwa aku ini pintar, hmm, bukan, bukan pintar, tapi cerdas dan beruntung! Itu saja.

Dari taman kanak-kanak, aku selalu mendapat apa yang disebut dengan penghargaan. Prestasi, atau piala, atau piagam, atau apalah namanya. Guru-guruku juga mengakuinya, walaupun sedikit ’aneh’ dan pendiam, Pandi adalah anak yang berbakat dan beruntung begitulah yang bisa kusimpulkan dari pidato singkat guru-guruku ketika pembagian raport. Hehe. Terlepas dari apa saja yang teman-temanku lakukan terhadapku tentu saja.

Dan aku pun menyadarinya, bahwa aku adalah orang yang cerdas, beruntung dan intuitif. Sejak kecil. Walaupun namaku bisa saja diplesetin jadi kata yang bermakna s-t-u-p-i-d, aku tetap percaya diri dan yakin akan apa yang aku lakukan. Itu saja mungkin, yakin dan lakukan. Hehe.

Tahun-tahun kuliahku adalah tahun terberat dalam hidupku selama sembilan belas tahun ini. Aku masih dapat menerima dan mengacuhkan apa yang teman-teman SD, SMP dan SMA ku yang mengejek dan menghina kelakuanku yang menurutku biasa saja, tapi ketika masuk ke dunia perguruan tinggi, aku merasa ada hal berbeda dari namaku ini. Pandi. Tidak lagi terdengar aneh, tapi seperti ada sesuatu di dalamnya. Ada makhluk raksasa yang bergejolak tepat di bawah hurup-hurup P, A, N, D, dan I. Dan bukan juga karena kata-kata pandir yang dulu pernah kutemukan dan membuatku menjadi pandir dalam arti sesungguhnya. Entah apa yang ada di dalamnya, tapi seiring tahun ke sembilan belas dalam hidupku ini, menjelang tahun ke dua puluh dimana aku tidak lagi bisa masuk dalam kategori teenager, aku semakin yakin akan apa yang kurasakan, yang aku intuisikan bahkan yang aku imajinasikan adalah bukan sebuah kebetulan belaka. Karena si Pandi kah? Atau hanya perasaanku saja yang selalu percaya dengan apa yang kupercayai sendiri?

Sampai pada saat aku berjalan, melewati seorang pegawai biasa, mungkin pegawai rendahan; karena kemeja yang dikenakannya hanya kemeja biru muda polos berlengan pendek dengan celana yang sedikit kebesaran. Lebih tepatnya aku berjalan dan duduk di sebelahnya. Begitu aneh rasanya jika tidak bergumam atau paling tidak berkomentar melihat tampang orang ini. Dengan headset yang terpasang dengan volume maksimal di kedua telingaku, mustahil bagiku untuk mendengar apapun disekelilingku, apapun yang orang-orang itu lihat dan katakan ketika melihatku bergumam sendiri; semoga mereka mengira aku sedang menerima telepon. Tapi siapa peduli. Toh, orang-orang Jakarta sudah mulai terjangkit wabah apatisme; selain virus babi sialan itu tentu saja. Oke, kembali lagi ke orang yang ada di sampingku ini. Dengan anugerah wajah yang tidak memalukan, kenapa orang ini hanya mampu menjadi pegawai biasa; rendahan mungkin. Entahlah, mungkin saja Allah memang adil dalam mencipta segala keinginan-nya. Hehe. Setelah kuterima asumsi bahwa Allah memang selalu adil, sesaat kemudian aku ikut terjangkit aura apatisme dari orang-orang sekitarku. Tanpa dosa, mataku terlelap. Begitu nyaman.

Masih dengan alunan radio kesukaan di telinga ini, dan langkah-langkahku yang meyakinkan, setapak demi setapak menginjak lantai alumunium halte bis yang mulai berantakan. Di atas jembatan layang aku meratapi betapa nikmatnya hidup ini. Coba lihat di bawah sana! Banyak orang yang bisa dibilang sedang berperang dengan kekayaan jalan, maksudnya, kekayaan akan kendaraan yang membuat jalan terlhat begitu penuh dari atas sini. Memang dilihat sekilas dari luar, nampak elegan dan mengasyikkan duduk di belakang kemudi berbandrol ratusan juta itu, tapi, what the hell do i do now? Meratapi senang melihat kemacetan? It’s a big no no.

Tanpa rasa marah sedikitpun aku masuk ke dalam lingkungan kampus pilihan ayahku ini. Pastinya setelah satu setengah jam di dalam bis dan lima belas menit menikmati jalan dengan sepatuku ini. Gerbang biru dan satpam yang sok atau mungkin memang ramah padaku; padahal aku sama sekali tidak mengenalnya, menyapa dengan senyum simpul mengerikan. Huooh, kantuk ini masih saja singgah di kedua bola mataku, padahal sudah kepejamkan tadi sesaat di bis.

Hari ini ada ujian mata kuliah seorang dosen super cerdas. Lucu juga sih , ikut di kelasnya. Saking cerdasnya dosen itu, ia berhasil membuatku takut setengah mati saat mendengan suaranya saja. Hihi. Sejak semester satu lalu, si super cerdas menakutkan itu selalu memberiku C di kelasnya. It’s ok. Dengan sisa waktu kurang dari lima belas menit sebelum si pengawas ujian yang tukang tidur itu membagikan kertas soal, kusempatkan diriku untuk melihat-lihat sedikit catatanku yang kusut. Bolak-balik halaman demi halaman dan kugumamkan perlahan, ya, hanya digumamkan dan berharap gumamanku itu nyangkut di otakku yang kosong ini. Kata mama, ujian itu seperti berjudi, kalau berjudi tidak membawa modal sama sekali, apa yang mau dipertaruhkan? Aku memutuskan untuk bertaruh sedikit saja, karena alasan malas dan beberapa pertimbangan lain, dan tentu saja disertai dengan doa dan harapan akan keberuntungan dari-nya (tidak lupa usaha mencari sumbangan kanan-kiri).

Pandi !!! Si pengawas tukang tidur itu menyebutkan nama yang sudah kukenal sejak aku menghirup udara dunia ini. Rasanya seperti makan waffle cokelat yang suda melempem, agak khawatir. Huff, ternyata aku salah menandatangani absen ujian. Hehe. Si pengawas geram melihat tingkahku yang memang menyebalkan, aku maju dan cengengesan di depan mukanya. Haha.

Ujian berlangsung singkat. Hiperbola dan ironi yang kugabungkan dalam kalimat sebelum ini.

Oh dosen-dosenku, lihat apa yang bisa kalian berikan untuk si pandi.

Dan tidak sama persis dengan situasi yang terjadi di sinema asal korea itu; boys before flowers. Dengan aktor-aktor kaya-raya dan hidupnya sudah sangat membosaknkan sampai-sampai hanya bisa menjahili teman mereka yang misikin dan muram durja itu. Tidak sesadis itu. Apa yang terjadi padaku paling tidak, lebih manusiawi daripada apa yang diceritakan dalam sinema itu.

Aku tidak mencoba untuk menjadi kuat sekalipun, aku hanya mengikuti apa yang aku suka sebut dengan istilah intuisi. Apapun yang teman-teman kampusku lakukan terhadapku, alhamdulillah aku masih menganggap mereka semua sebagai teman. Seharusnya malah tidak! Kalau saja aku menanggapi setiap celaan dan ‘candaan’ dari mulut-mulut mereka. Pernah suatu hari setelah kelas baru saja selesai, aku dijahili habis-habisan oleh seisi kelas. Mereka semua mengataiku dengan sindiran-sindiran halus dan menjodohkanku dengan mahasiswi terjelek sepanjang masa. Bayangkan saja, apa yang bisa kulakukan? Setelah tidak kuat unutk bergeming saja, aku cuma dapat bilang, biarin aja sampe puas. Kata-kataku itu malah membuat mereka semua; termasuk para senior yang ada di situ, mencemoohku. Sudahlah, dalam kejadian itu aku bergumam lagi, sembari berpikir, apa lagi setelah ini.

Pernah suatu ketika kemarahanku memuncak. Aku bergeming dan bergumam, okay, after I’m finishing my bachelor here, I do promise you; all of you, that you won’t see me again!!! Even in your dream!

Tunggu saja sampai apa yang bisa kubukutikan atas diriku ini pada kaian semua. Pada saat kalian bersua denganku dan aku dengan sengaja tidak mempedulikan kehadiran kalian. Itu! Itu adalah kemarahan terbesar yang pernah aku, seorang pandi, rasakan selama hidupnya. Dan berangkat dari situlah, kemudian kadar kedewasaan muncul. Walaupun tetap saja teman-temanku itu beranggapan aku ini memang pandir.

Bodoh, bodoh, aneh, dan menggelikan. Itu sementara yang bisa kuutangkap dari pandangan dan ocehan teman-temanku. Karena itu juga aku lebih senang berdiam dan menikmati sepi. Hihi. Memang secara normal, apa yang kusukai ini agak sedikit diluar kebiasaan, tapi menurutku ini adalah representasi dari apa yang justru mereka semua lakukan padaku. Ketika mereka menggunjingku dari belakang, aku tahu itu. Abku bahkan tahu apa yang mereka impikan tentang diriku. Aku juga tidak berusaha mengenyakkan diriku dengan mereka semua, teman-teman satu kampusku itu. Hanya ada aku dan duniaku. Cukup.

Tak mengerti aku dibilang begini-begitu, ada salah seornag temanku yang aku nilai sangat kejam padaku. Yang hanya bisa ia lakukan adalah melihatku dengan pandangannya yang munafik itu lalu menyapaku dengan ramah-tamah berlebihan yang dibuat-buat. Dia sebenarnya sangat iri padaku, sangat iri, terlalu iri untuk diungkapkan dan diekspersikan dengan cara apapun, jadi dia memilih untuk membenci diriku saja sebagai representasi dari rasa iri hatinya terhapadku. Aku tahu itu, aku tahu apa yang kurasakan itu benar, benar kalau ia iri setengah mati kepadaku. Aku juga tahu apa yang aku suka adalah bergumam dan berkomentar akan hal-hal yang terjadi, cuma berkomentar dalam hati dan melakukan monolog-monolog panjang sendiri tentu saja.

Dengan memperhatikan, rasa yang dihasilkan akan lebih dalam dan sensitif. Dengan begitu, walaupun mereka, teman-temanku sudah memberiku stampel pandir atas nama pandi yang kusandang, aku menjadi biasa saja.

Biasa menikmatinya.

Melihat dari sudut pandang orang yang tersendirikan situasi dan melakukan berjuta monolog setiap hari adalah sebuah kuliah pribadi yang aneh dan mengasyikkan.

Terlalu banyak kejadian yang terjadi dihadapanku yang aku sendiri bingung menaggapinya. Saat sebenarnya aku hanya bergumam dalam hati, hanya bergumam; walaupun kadang memang dengan gumaman yang sungguh-sungguh. Apa yang akau pikirkan, aku lakukan monolognya sendiri, itu semua terjadi begitu saja.

Pernah suatu hari, aku secara tidak sengaja, atau di bawah alam sadar, membaca dan mengikuti beberapa quiz tentang nasib di internet. Cukup menyenangkan. Tapi guess what? Hasil dari ketiga ramalan itu sama, begini isinya; kamu akan mendapatkan semua apapun yang kamu inginkan. Haha. Pandi, pandi, betapa beruntungnya kamu. Oh, thank God, I am Pandi.

The Mindtalker;