Kamis, Maret 5

Perguruan Tinggi and its challenges

Melalui dharma pendidikan perguruan tinggi harus mampu memberdayakan proses pendidikan yang sedemikian rupa agar seluruh mahasiswanya berkembang menjadi lulusan sebagai sumber daya manusia berkualitas yang memiliki kompetensi paripurna secara intelektual, profesional, sosial, moral dan personal. Dharma kedua yaitu penelitian, perguruan tinggi harus mampu mewujudkan sebagai satu institusi ilmiah akademik yang daapt menghasilkan berbagai temuan inovatif melalui kegiatan-kegiatan penelitian. Melalui penelitian ini perguruan tinggi dapat mengembangkan dirinya serta memberikan sumbangan nyata bagi pengembangan bidang keilmuan dan aplikasi dalam berbagai upaya pembaharuan. Selanjutnya melalui dharma ketiga yaitu pengabdian keberadaan perguruan tinggi harus dapat dirasakan manfaatnya bagi kemajuan masyarakat. Hal ini mengadnung makna bahwa keberadaan perguruan tinggi harus dirasakan oleh masyarakat disekitarnya dengan memberikan pemahaman kepada masyaraat sesuai dengan bidangnya.

Tantangan global
Pesatnya perkembangan teknologi informasi merupakan salah satu ciri utama perkembangan global di abad 21. Siap atau tidak siap hal itu merupakan satu realitas yang harus dihadapi dengan kualitas sumber daya manusia dengan daya saing unggul. Menghadapi berbagai perubahan di era globalisasi diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kualitas keberdayaan yang lebih efektif agar mampu mengatasi berbagai tantangan yang timbul.
Dalam era globalisasi setiap orang dituntut untuk mampu mengatasi berbagai masalah yang kompleks sebagai akibat pengaruh perubahan global. Menurut Marquardt (1996) memasuki Abad ke-21 ada empat kecenderungan perubahan yang akan mempengaruhi pola-pola kehidupan yaitu; 1.) perubahan lingkungan ekonomi, sosial dan pengetahuan dan teknologi 2.) perubahan dalam lingkungan kerja, 3.) perubahan dalam harapan pelanggan 4.) perubahan harapan para pekerja.
Pada tatanan global seluruh umat manusia di dunia dihadapkan pada tantangan yang bersumber dari perkembangan global sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Robert B Tucker (2001) mengidentifikasi adanya sepuluh tantangan di abad 21 yaitu 1.) kecepatan (speed), 2.) kenyamanan (convinience), 3.) gelombang generasi (age wave), 4.) pilihan (choice), 5.) ragam gaya hidup (life style) 6.) kompetisi harga (discounting), 7.) pertambahan nilai (value added) 8.) pelayanan pelanggan (customer service), 9.) teknologi sebagai andalan (techno age), 10.) jaminan mutu (quality control).
Memasuki era baru di abad 21 sistem pendidikan tinggi di Indoensia harus terwujud sedemikian rupa dengan karakteristik antara lain; 1) terkait dengan kebutuhan mahasiswa, prioritas nasional dan pembangunan ekonomi, 2) terstruktur secara efektif sehingga memberi peluang kepada seluruh warga negara untuk mengembangkan potensi pribadi sepanjang hayat dan berkontribusi kepada masyarakat, bangsa dan negara, 3) didukung dengan pendanaan yang memadai sehingga memungkinkan untuk berinovasi dan mencapai keunggulan, 4) melakukan penelitian yang dapat menunjang pembangunan nasional, 5) memiliki akses dalam pengembangan dan penerapan teknologi, 6) berperan sebagai kekuatan moral dalam mewujudkan masyarakat demokratis yang madani. Dengan demikian, perguruan tinggi harus memiliki kredibilitas institusional secara utuh dan menyeluruh. Sistem ini harus memiliki akuntabilitas yang tinggi terhadap masyarakat, menunjukkan efisiensi dalam operasionalnya, menghasilkan lulusan yang berkualitas, memiliki manajemen internal yang transparan dan memenuhi standar.

Pendidikan Guru dan tenaga Kependidikan
Berbicara menegnai pendidikan, tidak dapat dilepaskan dengan aspek guru sebagai unsur inti pendidikan. Kualitas sumber daya manusia yang diharapkan mampu bersaing di era global sangat ditentukan oleh kualitas guru yang berada di garda terdepan pendidikan. Pada tatanan global dan nasional, dunia pendidikan ditantang dengan berbagai upaya pembaharuan dan pembangunan yang lebih berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia.
Lahirnya Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan berbagai produk ketentuan hukum lainnya merupakan satu tantangan yang harus dihadapi oleh Perguruan Tinggi khsusnya LPTK yang mempunyai tanggung jawab dalam menghasilkan guru yang berkualitas. Pada tatanan lokal dengan penerapan otonomi daerah, setiap daerah mempunyai peluang untuk menata pengembangan tenaga guru yang lebih berkualitas dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan daerah.
Berkaitan dengan masalah dan kendala di dunia guru, cukup banyak kritikan tajam yang ditujukan kepada LPTK khsusnya yang berkenaan dengan ketidak mampuan LPTK menghasilkan guru yang berkualitas. Menurut Linda Daeling Hammond dan Joan Baratz Snouwden (2007) dalam tulisannya yang berjudul : Good Teacher in Every Classroom Preparing the High Qualified Teachers Our Children Deserve” ada beberapa alasan mengapa hal itu terjadi. Yaitu 1) pemerintah dan masyarakat belum menunjukkan keseriusannya dalam menangani hak-hak anak terutama dari kelompok miskin, 2) penyempitan makna konvensional yang menyatakan bahwa pengajaran semata-mata sebagai proses penyampaian materi sebagaimana digariskan dalam kurikulum, 3) banyak pihak yang tidak memahami hakekat mengajar yang sebanarnya 4) hampir semua meyakini bahwa yang penting adalah pengajaran dan bukan pembelajaran dari peserta didik 5) masih longgarnya tuntutan persyaratan untuk menjadi guru yang berkualitas 6) para penelitia dan pendidik guru baru sampai pada kesepakatan mengenai pengetauhan dasar yang diperlukan oleh guru untuk memasuki kelas. Pendidikan guru di masa lalu dan hingga sekarang sering dikritik terlalu sempit yang dibatasi dengan mempersiapkan pengetahuan yang akan diajarkan dikelas. Sementara kurang memperhatikan hal-hal yang terkait dengan pemahaman mengenai peserta didik, pengembangan profesi, pembentukan kepribadian, dan landasan pedagogis. Sebagai akibatnya ialah guru hanya mampu tampil sebagai penyampai pengetahuan dan tidak tampil sebagai guru profesional sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Guru dan Dosen.

Pengembangan LPTK
Dengan memperhatikan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa LPTK menghadapi masalah dan tantangan eksternal yang berkaitan erat dengan globalisasi, pembangunan ekonomi, desentralisasi, situasi politik, perkembangan sosial budaya dan teknologi. Sementara itu kenyataan obyektif secara internal LPTK di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang bersumber dari pola-pola menajemen yang sntralistik, mekanisme pendanaan yang sentralistik dan kaku, organisasi dan manajemen yang kuang efisien, kualitas sumber daya manusia yang kurang memadai dan belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam pendanaan pendidikan. Semua masalah itu memerlukan penanganan secara nsional, sistematik dan terpadu
Sehubungan dengan itu antisipasi pengembangan dan kinerja LPTK khususnya LPTK swasta, merupakan satu hal yang harus diwujudkan demi kelestarian dalam menghadapi gelombang tantangan dalam tatanan global, nasional, regional, lokal dan organisasional. Hal ini mengandung makna bahwa pengembangan LPTK (terutama swasta termasuk LPTK PGRI) merupakan satu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi agar menjadi lembaga pendidikan yang lestari dan bermutu.
Pengembangan LPTK PGRI sekurang-kurangnya mencakup aspek sturktur, kultur, substansi, dan SDM. Dalam aspek struktur perlu dikaji struktur kelembagaan LPTK PGRI termasuk hubungan struktural dan fungsional antar lembaga pendidikan, dengan pemerintah pusat (pusat dan daerah), khususnya Departemen Pendidikan Nasional/ Dinas Pendidikanm dengan Yayasan dan pihak-pihak terkait lainnya sehingga diperoleh satu struktur yang menunjang eksistensinya.
Dalam aspek kultur, perlu dilakukan pola-pola budaya yang sedemikian rupa dapat menunjang berkembangnya Lembaga Pendidikan Tinggi yang bercorak khas sebagai cerminan jatidiri, visi, misi dan strategi PGRI. Budaya birokratis dan feodal harus bergeser ke budaya “pedagogis” yang demokratis dalam suasana nilai-nilai kejuangan guru. Budaya komunikasi satu arah yang “top down” harus digeser menjadi budaya komunikasi dua arah dan “bottom up”, Budaya pengaturan yang sentrarilstik ke budaya pemberdayaan dan desentralistik yang otonom. Bagaimanapun perguruan tinggi PGRI itu merupakan aktualisasi kultur pendidikan, sehingga paradigma pendidikan harus menjadi landasan utama dalam perwujudan kinerjanya melalui aktualisasi tridharma perguruan tinggi.