Kamis, Agustus 27

PEOPLE CHANGE (unnecessarily)

PEOPLE CHANGE (unnecessarily)
on Pandi[r]; a monologue of the Mindtalker

Kali akan sedikit lumayan PARAH. Karena kali bukan lagi Pandi yang akan diceritakan. Bukan lagi orang yang banyak dibilang bodoh oleh orang lain. Untuk kisah ini, aku, si Pandi, akan menceriterakannya dengan sudut pandang yang lain. Sebagai wujud keprihatinanku terhadap ORANG-ORANG YANG BERUBAH (secara tidak perlu).
Sebagai orang yang tertutup (sekali) Pandi tentu saja hanya memilki beberapa teman dekat. Atau mungkin banyak yang lebih senang menyebutnya dengan istilah ‘sahabat’. Apalah. Terhitung hanya ada empat orang saja yang tahu lekat tentang Pandi, dan sebaliknya. Itu pun menurut keempat teman dekat Pandi, sosoknya masih tergolong misteius. Pandi memang sulit sekali untuk percaya kepada makhluk lain. Bahkan mungkin kepada dirinya sendiri. Entahlah, memang Pandi aneh.
Salah satu dari keempat teman dekatnya itu bernama Dayat. Mungkin untuk beberapa orang, nama ini terdengar (sorry to say) kampungan. Tapi memang begitu adanya. Dayat adalah seorang mahasiswa sejarah di salah satu universitas negeri di Jakarta. Berasal dari keluarga yang (sangat) sederhana namun gigih sekali bekerja. Dengan muka yang juga pas-pasan atau dengan istilah lain under average tapi terkesan sangat menghibur dan lucu sekali. Yang jika membayangkan mukanya saja akan membuat Pandi tertawa ringan. Begitu bening. Polos.
Sebenarnya dari keempat teman dekat Pandi, masih terbagi lagi menjadi dua kelompok bermain. Hehe. Bukan bermaksud sebagai dikotomi pergaulan, tapi menurut Pandi memang itulah yang terjadi (secara alami). Pandi, Dayat, dan Onci. Mereka bertiga dekat. Dekat dengan wajar dan tidak berlebihan tentu saja. Sejak SMA dulu, paling tidak setiap hari minggu Pandi, Dayat, dan Onci ‘kumpul bocah’ di rumah Onci. Sekedar untuk numpang makan siang atau hanya ngobrol-ngobrol kecil saja. Dari ketiga orang itu, Dayat adalah yang paling pendiam, bukan berarti pasif. Namun memang perawakan Dayat yang SELALU terkesan INNOCENT membuatnya menjadi topic yang paling menarik. Ada-ada saja tingkahnya yang menggelikan dan tidak masuk akal. Lucu sekali.
Sejak lulus SMA mereka bertiga kuliah di kampus yang berbeda-beda, Pandi yang kuliah di mana ia tidak seharusnya kuliah, Onci yang alhamdulillah lulus SPMB dan kuliah di tengah pulau Jawa sana, dan Dayat yang berinisisasi untuk belajr tentang sejarah; walaupun dulunya sempat dua kali mengganti jurusan. Dayat selain lugu bin polos bin bening bin innocent itu juga terkenal plin-plan dan mudah sekali terbujuk. Entah kenapa dari dulu memang begitu.
Kuliah di tempat yang sama sekali berbeda ini membuat mereka jarang kumpul bocah lagi. Walaupun sekarang sudah ada wall facebook tapi tetap saja, kalu tidak kopi darat rasanya kurang sreg.
Akhir semester ini Onci pulang ke Jakarta. Sayangnya Cuma untuk beberapa hari saja. Sudah dua tiga kali Onci mengajak Pandi untuk main dan makan (lagi seperti dulu) di rumahnya, tapi ada saja alasan Pandi. Kali ini Pandi memang benar-benar tidak bisa; bukan karena kebiasaan buruknya yang senang sekali menyendiri.
Akhirnya dengan inisiatif sendiri, dan atas ketidakenakan atas penolakan yang selalu keluar dari mulutnya, Pandi mengajak Onci dan Dayat untuk makan di luar. Malam itu Jakarta begitu bersahabat, walaupun agak sedikit lebih dingin dari biasanya. Tapi sudahlah, hajar saja.
Setelah sekian lama tidak bertemu, banyak sekali cerita yang diperdengarkan ketika mereka bertemu di rumah Onci. Walaupun tanpa si Dayat yang tidak ada kabarnya. Entah ada angin apa, Onci mengajak Pandi untuk makan di luar saja, bukan di rumanya dengan santapan khas Ibu Onci yang selalu mantap. There should be something.
Benar saja, ada cerita yang belum sempat dikalimatkan kepada Pandi. Kali ini muka Onci terlihat serius dan galak. Setelah menyantap setangah potong steak ayam. Onci berbasa-basi kecil dan menceritakan kisah tentang si Dayat. Kisah yang sama sekali Pandi tidak tahu dan TIDAK JUGA DAPAT DITERIMA dengan akal sehat. Sesehat apapun akal Pandi malam itu.
Di bawah dentuman rintik hujan dan gemuruh suara motor pinggir jalan. Onci bercerita tentang kehidupan Dayat yang sekarang.
Dayat yang dulunya begitu lucu. Begitu polos dan kampungan sekali. Dayat yang selalu bekerja keras. Apapun yang bisa dilakukannya. Pandi ingat betul bagaimana gambaran kaedaan rumah Dayat. Sampai tiap sudut kamar Dayat tergambar jelas ketika mendengarkan cerita Onci.
Kali ini Pandi yang bodoh itu akhrinya mengerti, apa yang selalu ayah mamanya bilang. Hati-hati dengan pergaulanmu. Yang awalnya Pandi menganggap itu hanya sekedar wejangan paling standar. Tapi kini. Setelah terkuak kisah teman dekatnya sendiri, Pandi yakin bahwa memang. It’s obviously occurring right in front of his glasses.
Baiklah, seperti yang tadi sudah digambarkan. Sosok seorang Dayat yang seperti itu. Yang begitu ‘anak baik-baik’ dan dari keluarga yang baik-baik, juga berasal dari latar belakang yang baik-baik dan bahkan patut diteladani. Kegigihan keluarga Dayat. Sekarang semua telah berbeda. Sama sekali mungkin.
Cerita si Onci.
Berdasarkan apa yang telah didengarnya langsung dari Dayat.
Awalnya Onci tidak percaya sama sekali, mendapat kabar tentang perubahan sikap Dayat yang hampir seratus tujuh puluh sembilan derajat itu. Mendapat telepon dari salah seorang teman yang mencoba mengklarifikasi langsung dari Onci sebagai teman dekat Dayat, bahwa kini ada yang aneh dari Dayat yang lugu itu. Sehari setelah mendapat kabar itu, dan kebetulan sedang ada di Jakarta, Onci mengajak Dayat untuk bertamu ke rumahnya. Dengan alasan sudah lama tidak ngobrol. Pada awalnya Dayat menolak beberapa kali, karena sedang ingin ke rumah temannya. Tapi ketika Dayat sempat untuk datang kerumah Onci. Onci tidak langsung menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan Dayat. Dengan basa-basi layaknya teman dekat yang sudah lama tidak bertemu, dan setelah bincang-bincang panjang dan juga tanpa ditanya sedikitpun. Keluar begitu saja pengakuan dari mulut manusia se-polos Dayat, kalau memang akhir-akhir ini hidupnya berubah.
Berubah bukan lagi seperti dulu. Seperti yang Onci dan Pandi kenal. Kuliah yang dulu sangat digemarinya menjadi kacau. Padalah Onci masih ingat betul saat-saat ketika Dayat bersemangat mengerjakan setiap papernya. Ketika Pandi dipaksa untuk menerjemahkan lembar-lembar buku sejarahnya. Pada waktu tiap kali on line bareng, ada saja informasi yang tidak Pandi dan Onci ketahui, Dayat sudah punya referensinya. Kini, semua itu menjadi DULU. Dulu sekali. Menurut Dayat sendiri. Bahkan, sekarang uang sks-nya pun belum dilunasi. Entah kemana perginya uang-uang itu. Mulai dari bolos kuliah, bukan sekedar bolos, tapi sama sekali tidak masuk kuliah. Hanya untuk pergi kesana-kemari. Nilai-nilainya yang terjun bebas. Dayat telah benar-benar berbeda.
Kemudian ketika mendengar cerita langsung dari sumbernya, Onci hanya terbelalak diam mematung tidak sanggup menerima apa yang sedang didengarnya. Dayat meneruskannya lagi. Kali ini ia berkisah tentang awalnya ia mengenal salah seorang temannya, teman yang menurutnya baik. Teman baik-baik (menurt persepsinya saja). Cuih.
Dayat diajak untuk mengenal lebih dalam lagi apa yang dikenal dengan ‘dunia malam’. Dunia yang jelas-jelas terparadigma sebagai dunia yang tidak layak untuk masuk ke dalam kategori ‘patut dicicipi’. Dan Onci yakin kalau Dayat tahu akan hal itu. Jelas sekali tahu, kalau tidak buat apa Dayat sekolah selama dua belas tahun dan hidup di lingkungan relijius seperti itu?
Katanya, waktu itu, atau lebih tepatnya malam itu, ia tidak bawa KTP dan uang sepeser pun. Ketika di ajak masuk ke dalam sebuah night club. Bisa dibayangkan seorang dengan muka, tampang, bahasa tubuh, gaya, dan logat seorang Dayat, dalam keadaan seperti itu. Ditemani oleh orang yang baru saja dikenalnya dan berasal dari negeri antah berantah itu. Sungguh tidak dapat terbayangkan. Masuk dan di treat bak teman lama. Minum dan terbahak-bahak dengan dentuman music yang super keras. Pastinya sudah dapat ditebak, bagaimana keadaan ‘anak baru’ di dalam dunia malam seperti itu. Akan banyak sekali yang tertarik untuk menjadikannya teman. Cuih.
Mulai sejak itulah, Dayat mulai meruntuhkan kedigjayaannya dulu. Ketika ia rajin belajar dan gigih bekerja. Berubah menjadi sosk lain yang begitu lain. Malas dan hanya ingin berlari bebas menghirup lebih banyak lagi hedonistisme yang lain lagi.
Mencoba menjadi anak nakal yang menurut Pandi dan Onci, it’s too much and also too late. Ini sama sekali bukan waktu yang tepat untuk menikmati dunia seperti itu. Bahkan mungkin tidak aka nada waktu yang tepat untuk itu semua. Maksudnya, untuk minum-minum dan bersantai-santai dalam lingkungan HEDON seperti itu. Sayang sekali. Sungguh sangat disayangkan. Pandi dan Onci keliru tentang Dayat. sama sekali keliru. Satu hal lagi statement yang sungguh tidak mudah dicerna adalah ketika Dayat bilang, ‘kenapa memang? aku suka hidup seperti ini’. Menurut Pandi dan Onci: HIDUP YANG SEPERTI ORANG BODOH YANG TIDAK TAHU APA ARTINYA HIDUP N-O-R-M-A-L.
Ini bukan lagi lamunan.
Besok harus dirubah! Harus.